Blog

  • BECAUSE OF THE AFFECTIVE DRUG, MY EMPLOYER’S SON BECAME WILD AND FORCED ME TO DO IT

    BECAUSE OF THE AFFECTIVE DRUG, MY EMPLOYER’S SON BECAME WILD AND FORCED ME TO DO IT

    “Bertemu? Sepertinya belum, Tuan. Saya tinggal di kampung,” jawab Rahes.

    Tentu saja pernah bertemu. Bahkan dulu Sanjaya sering menyapanya ketika kebetulan berpapasan dengannya di kantor sang papa. Nyatanya, di balik senyumnya yang ramah, pria itu berhati iblis.

    “Oh, begitu. Ya, sudah kalau begitu. Selamat beristirahat.”

    “Terima kasih, Tuan,” sahut Rahes.

    Pria itu mengantar Sanjaya sampai ke pintu, lantas menutupnya setelah Sanjaya benar-benar berlalu. Rahes mencoba mengatur napasnya demi melindapkan amarah dalam dadanya. Ia baru saja bicara dengan pria yang telah mencelakai kedua orang tuanya. Mana bisa ia setenang itu. Keramahan Sanjaya memang hanya kedok. Ia sama liciknya dengan Melisa yang telah dengan gil a menjebaknya. Rahes tidak akan mengampuninya setelah ini.

    Sementara itu, Melisa masih memikirkan cara agar bisa menikmati kehan gatan sang sopir. Tentu saja, ia tak bisa lagi menjebak Rahes dengan obat perangs ang karena pasti pria itu sudah berhati-hati. Jadi, apa yang harus ia lakukan?

    “Sialan. Aku enggak bisa begini terus,” katanya.

    Melisa lantas pergi ke ka mar mandi. Di sana, ia memilih menuntaskan semuanya seorang diri sebelum besok bersiap dengan rencana lain. Wanita itu benar-benar berambisi untuk mendapatkan Rahes sekali lagi karena sudah benar-benar haus akan be laian seorang pria. Nyatanya, setiap membayangkan setiap inci tub uh pria itu, Melisa langsung kepa yang.

    Esok paginya, Anna telah benar-benar merasa segar setelah tid ur dengan nyenyak semalaman. Gadis itu mengulat usai membuka mata dan tersenyum kecil. Rasanya ada yang begitu ringan di hati dan pikirannya usai sema lam berbagi banyak hal dengan sang sopir.

    Anna lantas bangkit dari ranj ang. Ia membuka pintu balkon dan mencoba merasakan kesejukan udara pagi ini. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. Ketika asyik dengan suasananya, tiba-tiba perhatian Anna beralih pada sosok sang sopir yang juga sedang berolahraga di depan kamarnya. Dari balkon ka mar Anna, terlihat begitu jelas bagaimana Rahes bergerak ringan, tapi tampak begitu mempesona. Anna lantas menutup wajahnya dengan kedua telempap.

    “Apa-apaan, sih, aku? Anna sadar,” bisiknya pada diri sendiri.

    Namun demikian, gadis itu malah merasa jengah karena dengan sengaja menikmati pemandangan tub uh sang sopir yang kekar. Ini bukan kali pertama Anna melihat yang seperti itu, tapi rasanya ia tak bisa menahan diri. Rahes memang sangat mempesona. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga sikapnya yang dewasa.

    Tak lama kemudian, pria itu menyadari kehadiran Anna. Ia mendongak dan melempar senyum dan hormat pada gadis itu. Anak majikannya yang saat ini menatapnya dengan tersenyum. Sungguh sangat manis. Walaupun baru saja terbangun dan Rahes yakin Anna belum ke kamar mandi. Nyatanya, pesonanya tak pudar sedikitpun.

    Sementara itu, Melisa yang sejak semal am uring-uringan sudah merencanakan sesuatu untuk Rahes sore ini. Ia akan mem aksa pria itu untuk meminum obat perangs ang miliknya dan mengg ila bersamanya.

    Pagi itu, Anna memutuskan untuk sarapan di meja makan. Seperti yang sudah Rahes katakan kemarin, setidaknya ia harus mendengar alasan sang papa bersikap demikian. Jika bukan karena naf su, mungkin saja ada alasan lain mengapa Sanjaya melakukan itu.

    Ketika melihat anak gadisnya ada di meja makan, Sanjaya tersenyum kecil. Buru-buru ia menghampiri gadis itu dan menyapanya.

    “Sayang.”

    “Pagi, Pa,” sahut Anna.

    Melihat senyum Anna yang merekah, Sanjaya yakin suasana hatinya sedang baik. Kemarin gadis itu pasti butuh waktu untuk memahami semuanya. Ia yakin Anna bisa mengerti karena dia adalah anak yang cerdas. Jadi, Sanjaya akan meluangkan waktunya pagi ini untuk bersama dengan sang putri.

    “Kamu … ada kuliah pagi ini?” tanya Sanjaya ragu.

    “Enggak ada, Pa. Cuma nanti sore harus ke kampus untuk registrasi ulang,” kata Anna.

    “Oke, gimana kalau pagi ini kita jalan-jalan. Ke taman mungkin. Papa sudah lama tidak melakukan itu,” kata Sanjaya.

    “Boleh, Pa.”

    Anna sengaja memberikan waktu untuk sang papa menjelaskan. Mungkin saja alasannya akan membuat Anna kembali kec ewa, tapi setidaknya ia harus tahu semuanya sebelum menentukan sikap.

    “Kasih tahu Rahes untuk bersiap. Biar dia aja yang nyopir,” jelas Sanjaya.

    Anna bergegas menemui sang sopir ketika Melisa turun ke meja makan. Ia mendengar ucapan suaminya dan langsung melempar protes.

    “Rahes itu sopirku, dia harusnya ngantar aku ke mana-mana. Kenapa kamu seenaknya menyuruhnya?” katanya.

    “Aku akan carikan sopir lain untukmu. Rahes akan jadi sopirnya Anna setelah ini,” ucap Sanjaya.

    “Enggak. Anna aja yang cari sopir lain.”

    Sanjaya bangkit, lalu menelisik ekspresi Melisa yang begitu k esal. Ini hanya sopir, kenapa Melisa sampai seke sal itu?

    “Darman akan selesai cuti setelah ini. Dia akan kembali pada pekerjaannya. Dan kamu bisa pergi dengan dia.”

    Sanjaya bangkit dari duduk. Ia mengabaikan Melisa yang melempar protes kepadanya. Sementara sang istri begitu kesal. Kenapa sekarang suaminya banyak mengatur. Melisa tidak tahu, nyatanya setelah perselingku hannya ketahuan oleh Anna, pria itu malah makin seenaknya.

    Sementara itu, Anna yang menemui Rahes yang sedang mengelap mobilnya tersenyum kecil. Rahes juga melakukan hal yang sama. Pria itu lantas melem par tanya.

    “Ada apa, Non? Mau pergi pagi ini?” tanyanya.

    “Iya, tapi sama Papa. Mau jalan-jalan. Kamu antar, ya,” kata Anna.

    “Siap, Non,” jawabnya.

    Anna masih mengulas senyum ketika Sanjaya datang. Pria itu menatap sang putri dengan saksama, lalu mengusap lengannya.

    “Kita pergi sekarang?” ucap Sanjaya yang membuat Anna terkesiap.

    “Iya, Pa.”

    Rahes kemudian membukakan pintu untuk Anna dan Sanjaya. Setelah semuanya masuk, gegas ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan itu dengan perlahan menuju ke taman yang Sanjaya sebutkan. Sesekali, pria itu akan melirik spion demi melihat keakraban ayah dan anak itu. Entah kenapa, rasanya ia menjadi ikut senang melihat Anna dan Sanjaya akur. Walaupun seharusnya itu tidak boleh terjadi.

    Tak lama kemudian, keduanya sampai di taman. Sanjaya dan Anna berjalan bersisihan menyusuri taman. Sementara Rahes menunggu di mobil. Tampak sekali dari kejauhan jika keduanya sama-sama saling menyayangi. Sampai akhirnya, Sanjaya harus segera pergi ke kantor siang itu.

    “Kamu pulang sama Rahes, papa akan naik taksi saja,” ucap Sanjaya.

    “Saya antar saja, Tuan. Baru nanti pulang,” kata Rahes.

    “Iya, Pa. Daripada naik taksi,” sahut Anna kemudian.

    Sanjaya tersenyum, lalu mengangguk demi menyetujui usul dari sang putri. Keduanya lantas naik ke mobil yang kemudian dikemudikan Rahes ke kantor Sanjaya. Saat sampai di halaman kantor, Sanjaya lantas melempar tanya.

    “Loh, kamu ternyata sudah tahu di mana letak kantor saya, Rahes?”

    “Emm … iya, Tuan. Nyonya Melisa yang kasih tahu,” jawabnya dusta.

    Padahal, memang sejak awal ia sudah mengetahui mengenai perusahaan milik almarhum papanya. Sanjaya kemudian pamit untuk masuk. Usai melambai pada sang papa, Anna meminta Rahes untuk pulang.

    “Nanti sore antar aku ke kampus, ya,” kata Anna kemudian.

    “Siap, Non,” sahut Rahes.

    Saat mobil mereka masuk ke halaman kediaman Sanjaya, Melisa buru-buru turun. Ia menghampiri sang putri dan kemudian menanyakan jadwal Anna sore ini.

    “Mau ke kampus untuk registrasi, Ma. Ada apa?” tanya Anna.

    “Mama mau keluar dan minta tolong Rahes antar,” kata Melisa dusta.

    “Oh, ya, udah. Nanti biar Rahes pulang dulu habis nganter aku. Aku bisa pulang sama temen nanti,” jelas Anna.

    “Makasih, Sayang.”

    Melisa tersenyum kecil. Akhirnya, ia akan bisa menikm ati kebersamaan bersama pria itu. Ia bergegas membuat rencana. Melisa mencampur obat perangs ang ke air mineral dan meminta Marni meletakkannya di mobil tanpa ketahuan oleh Rahes. Ia hafal kebiasaan pria itu. Rahes akan meminumnya setelah sampai di rumah usai mengantar Anna.

    Sore itu, Rahes sudah bersiap. Ia menunggu Anna yang turun tak lama kemudian. Gadis itu tampak cantik dengan kemeja dan celana jin yang menawan.

    “Kita berangkat sekarang, Nona?” tanya Rahes.

    “Iya.”

    Rahes melajukan kendaraannya menuju ke kampus gadis itu. Namun, sesampainya di sana, Anna tampak kece wa. Ia baru saja mendapat pesan jika registrasi ditunda besok karena ada sesuatu yang mend esak.

    “Yah, besok jadinya,” kata Anna pada Rahes.

    “Ya, sudah. Kita pulang saja, Nona,” ucap pria itu.

    “Eh, sebelum pulang, mampir ke penjual pentol di pertigaan stadion, dong, Hes. Aku penasaran sama rasanya,” ucap Anna.

    “Siap, Nona.”

    Rahes melajukan kendaraannya menuju lokasi yang diminta oleh Anna. Sesampainya di sana, gadis itu langsung menghambur ke penjual dan memesan pentol yang lagi viral. Sialnya, ia malah kepedesan dan kembali ke mobil dengan wajah mem erah.

    “Aku butuh minum, Rahes,” katanya.

    Buru-buru Rahes mengangsurkan air mineral yang ada di mobilnya. Anna tanpa curiga juga langsung menenggaknya sampai tinggal separuh.

    “Aah … pedes banget. Untung ada air di mobil,” katanya.

    Anna kemudian naik ke mobil dan meminta Rahes untuk pulang. S ialnya, di jalan gadis itu mulai merasakan hal yang aneh. Obat perangs ang yang dimasukan dalam air mineral oleh Melisa mulai beraksi. Anna mulai kepanasan dan ge rah. Saat itu, tangannya refleks memegang lengan Rahes yang sedang menyetir.

    “Ada apa, Nona?” tanya pria itu.

    “Rahes, kenapa aku merasa ge rah, ya. Kayak pengen … emm ….”

    Gadis itu mengg igit bib ir bawahnya dan mulai mengge liat. Rahes buru-buru menepikan mobilnya demi memastikan keadaan sang nona.

    “Non Anna kenapa?” tanya pria itu lagi.

    Gadis itu hanya menggeleng, tapi kemudian mulai berkeringat. Anna menyen tuh tu buhnya sendiri dan memej am seperti apa yang Rahes rasakan waktu itu. Pria itu mulai menyadari sesuatu. Ia mengecek air mineral dan itu air yang sama yang diberikan Melisa waktu itu.

    “Jangan-jangan–”

    “Rahes … apa kamu bisa … menyent uhku?” ucap Anna yang saat ini sudah mulai merac au tak jelas.

    “Tapi, Nona. Saya–”

    “Sedikit saja, Rahes. Aku tidak tah an,” kata gadis itu memelas.

    Anna sudah mulai membuka satu per satu kan cing kemejanya. Sementara Rahes hanya bisa diam. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan sekarang?

  • DESPERATE WIDOWER

    DESPERATE WIDOWER

    Mbak Mia menatapku dengan galak. Dia meneliti aku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku langsung merasa seperti mahasiswa baru yang bakal di bully senior.

    “Kamu bener kan yang namanya Kania? Stafnya Mas Ardi?” Dia mengulangi pertanyaannya.

    Aku ingin menjawab “Bukan!” Biar urusan gak jadi panjang.

    “Mia.” Suara panggilan ke Mbak Mia yang berasal dari Pak Panji membuat kami makin menjadi tontonan.

    Sebagai seorang introvert, ini adalah mimpi buruk buatku.

    “Hei Kania.” Pak Panji juga menyapaku membuat aku makin tidak enak. Aku ingin segera kabur. Apa aku gak usah jadi beli makanan ya? Ck… tapi tadi pesananku sudah disiapkan dan tinggal kubayar.

    Aku hanya tersenyum terpaksa.

    “Jadi dia orangnya?” Suara Mbak Mia terdengar tajam.

    Pak Panji seperti malas menanggapi.

    “Apaan sih kamu Mia?”

    “Iya kan?” Mia kembali menatap Pak Panji.

    “Jangan bikin ulah. Seneng banget kamu bikin drama.” Pak Panji malah menyulut emosi Mbak Mia.

    Makin banyak yang menonton. Sebelum aku makin terseret, aku harus segera menyingkir. Aku langsung saja maju ke kasir dan membayar. Mana Mbak kasirnya juga nonton lagi.

    “Mbak saya mau bayar.” Aku langsung mengalihkan perhatian si Kasir yang menonton dramanya Mbak Mia.

    “Oh iya.”

    Aku langsung bergegas menyelesaikan transaksi dan pergi keluar kantin. Aku gak mau terseret drama antara janda dan duda itu… dih… males banget deh…


    Aku menghela nafas saat sudah sampai kembali ke meja kerjaku. Duh semoga aku gak terseret drama kantor ini.

    Aku membuka Hape dan di grup angkatanku sudah mulai ramai dengan kasus di kantin. Padahal baru saja hitungan menit. Semoga nama aku gak terseret. Tapi harapan aku sia-sia.

    “Kania… lo di deketin Pak Panji?” Lila, teman seangkatan aku mengonfirmasi di grup dong. Kenapa dia gak japri aja sih? Menyebalkan.

    “Hah Kania di PDKT-in Pak Panji?” Seli menyaut.

    Oh God…. Aku harus jawab apa….

    “Kania, ikut saya rapat ya jam setengah dua ya.” Mas Tora sudah berdiri di depanku.

    “Oh iya Mas.” Aku langsung menaruh hapeku dan memutuskan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan di WA grup angkatan.

    “Rapat dimana Mas?”

    “Di Menteng.”

    “Oke Mas.”

    “Print bahan-bahannya ya Kania.”

    “Siap Mas.”

    Kukira Mas Tora sudah pergi. Aku baru saja membuka bungkusan makan siangku untuk makan.

    “Ada apaan sih di kantin.” Mas Tora berkata sambil meneliti hapenya.

    Aku langsung tidak berselera makan.

    “Kania, kamu habis dari kantin kan? Ini kok di grup ramai banget. Ck… Si Mia lagi bikin drama.” Mas Tora berkomentar sambil matanya tidak lepas dari hape.

    Mas Tora, Mbak Mia, dan Mbak Lita memang seangkatan masuk PNS.

    “Ada apaan Tor?” Mbak Lita keluar dari ruangan Pak Ardi.

    “Mia bikin drama lagi.” Tora menyampaikan.

    “Drama apa?” Mbak Lita mengintip ke hape Mas Tora.

    “Tuh sama Pak Panji.”

    “Jadian ajalah mereka. Sama-sama gak jelas.” Mbak Lita berkomentar.

    “Iya… janda sama duda terdrama.” Mas Tora terkekeh.

    “Eh, Kania. Si Pak Panji udah gak deketin kamu lagi kan?” Mbak Lita memandang aku.

    Aku langsung terbatuk. Duh… aku harus jawab apa?

    “Eh…” Aku tergagap.

    “Dia tuh harus ditegasin. Kalau masih ngenganggu kamu, kasih tau aku. Biar aku labrak tuh si Pak Panji. Dikira semua cewe mau apa sama dia. Tau gak, udah jelas-jelas aku nikah sama Mas Ardi, dia masih juga ngomong naksir aku… idih… sok kegantengan banget sih…” Mbak Lita mengomel.

    Aku memang sudah dengar cerita itu, dan berakhir Pak Ardi meninju wajah Pak Panji karena ngomong naksir istrinya… haha… lucu banget kan drama-drama kantor ini…

    “Masih dia PDKT ke kamu Kania?” Kini Mas Tora yang bertanya.

    “Gak…” Aku menjawab gugup. Yang dimaksud PDKT gimana? Apa mengantar aku pulang, membawakan mekanik untuk betulin motorku dan ngasih sarapan termasuk PDKT?

    “Kania, jangan mau sama Pak Panji. Kamu carilah pasangan yang umurnya gak jauh dari kamu.” Mbak Lita mulai memberi nasehat.

    “Lo udah kaya pakar pernikahan aja, Lit.” Mas Tora meledek.

    “Padahal lo berantem sama Mas Ardi, gue juga yang bantu mendamaikan…haha…” Mas Tora menyidir membuat Mbak Lita cemberut.

    “Heh tapi ya, Tor, menurut lo kalau gap umur pasangan jauh banget gimana? Coba kalau Kania jadi sama Pak Panji selisihnya berapa? Kania kamu umur 26 kan, Pak Panji itu udah 38 tahun. 12 Tahun selisihnya.” Mbak Lita menghitung.

    “Ya elah, kalau cowonya yang lebih tua makin lama makin gak keliatan, Lit. Lo sama Mas Ardi berapa taun coba? Jadi kaya sepantaran. Lo yang cepat tua ya Lit.” Mas Tora langsung mendapat pukulan di lengannya dari Mbak Lita.

    Aku hanya tertawa melihat mereka seperti itu.

    “Reseh lo Tor. Gue ama Mas Ardi cuma beda enam tahun.” Mbak Lita melotot ke arah Mas Tora. Mas Tora hanya tertawa-tawa.

    **

    “Kania kamu pulang naik apa?” Mas Tora bertanya. Rapat baru saja selesai. Jam sudah menunjukkan jam 5 sore.

    “Saya mau pesan ojek online aja, Mas.” Aku menjawab. Tadi kami kesini memakai mobil Mas Tora. Berhubung rumah aku dan Mas Tora berbeda arah tentu aku gak akan merepotkan dia untuk nebeng dong.

    “Mau nebeng sampai mana gitu ama gue?” Mas Tora menawarkan.

    “Gak usah Mas.”

    “Bener nih?”

    “Iya.”

    “Ya udah. Gue duluan ya.” Mas Tora melambaikan tangan. Aku mengangguk.

    Mas Tora atasanku baru enam bulan ini setelah menggantikan Mbak Lita. Mas Tora umurnya 31 tahun dan gayanya tengil. Tapi cukup bertanggung jawab sama pekerjaan kok. Dia gak bikin aku kesulitan sendirian.

    Mas Tora udah punya istri dan anak satu. Tipikel family man. Makanya dia hampir gak pernah lembur.

    Aku sampai di rumah sebelum magrib.

    “Assalamualaikum.” Aku menyapa sambil membuka pintu.

    “Waalaikumsalam.” Ibuku menjawab. Kubuka sepatu dan melangkah masuk.

    “Hai Kania.” Suara laki-laki menyapa. Mataku terbuka lebar melihat Pak Panji sudah duduk manis di sofa ruang tamu sambil tersenyum. Ngapain dia disini? Oh God….

    Ibuku menatapku penuh tanya, “Kania, Pak Panji nyari kamu. Kalian punya hubungan apa?” Ibuku langsung bertanya tanpa basa basi membuat aku bingung.

    Agh… aku harus jawab apa?

  • Bad day

    Bad day

    Hari ini aku agak badmood. Pagi-pagi mobilku sudah ditabrak motor dari belakang, dan motornya kabur. Ketika sampai kantor ku cek, bamper mobil belakangku agak baret panjang dan dalam, kelihatan banget di mobilku yang warna merah, untungnya gak penyok. Huhu… bakal ada pengeluaran tak terduga lagi deh!

    Aku berjalan ke arah gedung kantor dan sekilas di depanku aku melihat Mia. Dia tampil cantik dengan blouse biru langit dan rok selutut berwarna biru dongker. Penampilannya paripurna sekali ditambah sepatu high heels 5 cm. Kalau yang gak kenal mungkin menyangka dia artis TV, bukan PNS sini.

    Aku sengaja melambatkan jalanku. Aku malas ah se-lift sama dia, malas basa basi. Aku gak begitu suka ngobrol sama Mia. Dia tipikel orang yang kalau ngomong mengintimidasi… haha… atau memang perasaan aku aja yang emang merasa terintimidasi dengan kecantikan dia kali ya… Pokoknya aku gak nyaman aja bergaul dengan Mia. Meski kami seangkatan masuk PNS, kami kalau ketemu hanya saling sapa doang. Gak pernah ngobrol lama.

    Dia itu primadona di angkatan aku. Sebelum menjadi janda aja, temen-temen cowoku sangat memuja Mia, apalagi setelah udah jadi janda, banyak yang gak malu-malu ngegodain Mia, bahkan secara terbuka saling kompetitif untuk mendapatkan perhatian Mia.

    “Pagi-pagi udah ngelamun.” Mas Ardi sudah berdiri di sampingku.

    “Eh Mas Ardi.” Agak gak bersemangat aku menyapanya.

    “Saya liat mobil kamu baret. Kenapa? Pas parkir nabrak?”

    “Enggak Mas, ditabrak motor tadi. Keliatan banget ya? Mas Ardi parkir disebelah saya?”

    “Iya. Kamu omelin motornya dan minta ganti rugi gak?”

    “Motornya langsung kabur…” Aku berkata sebal, “Mas, saya mau ke kantin dulu.” Aku melambaikan tangan sebagai isyarat untuk berpisah ke Mas Ardi.

    “Saya ikut.” Dia menjawab sambil masih mengikuti aku. Ih.. padahal aku lagi males diikutin dia.

    “Mas, saya mau dibungkus aja makanannya.”

    “Saya juga kalau begitu.” Duuh… nih orang ikut-ikut aja. Aku memilih membungkus makananku dengan pertimbangannya males aja diliatin orang-orang lagi berduan sama the most wanted person di kantor sini. Bisa-bisa makanku gak nikmat karena banyak kasak kusuk sambil ngeliatin kami. Berasa tontonan infotaiment. Belum lagi ada yang datang sok-sok nyapa aku padahal mau dikenalin ke Mas Ardi…. Ih membayangkannya aja males banget…

    Ketika kami mau bayar di kantin, Mbak Kasir pun genit ke Mas Ardi, “eh Pak Ardi… ini aja nih makannya?” Aku jadi sebel dengan semua perhatian orang ke Mas Ardi. Kenapa sih aku ini… PMS kayanya…

    Mas Ardi menanggapi dengan cool dan tesenyum manis.. Huuh tambah tebar pesona aja dia. Kayanya dia menikmati semua perhatian orang ke dia deh…

    “Mbak, yang ini sekalian aja.” Mas Ardi menunjuk makananku.

    “Oh oke Pak. Enak ya Mbak, pagi-pagi aja udah ditraktir Bos ganteng.” Aku hanya memaksakan senyum. Kalimat itu terdengar seperti nyinyiran yang menyidir di kupingku. Aku benar-benar lagi sensitif banget.

    Sesampainya di ruangan. Nita menyampaikan bahwa aku dan Mas Ardi diminta menghadap Bu Tiara. Bahkan kami belum sempat sarapan.

    “Ardi dan Lita, apa-apaan ini?!” Baru kami masuk ke ruangan Bu Tiara, kami terkena bentakan. Bu Tiara membanting kertas-kertas ke mejanya. Wajahnya terlihat kesal sekali. Mas Ardi maju sedikit untuk melihat kertas yang dibanting Bu Tiara.

    “Ini ada datanya yang salah. Pak Deputi marah. Gimana sih kalian gak teliti!! Kalian kan tahu seharusnya kita ini zero mistake!!!”

    Selama setengah jam berikutnya kami harus duduk di ruangan Bu Tiara mendengar dia mengomel. Memang di kajian kami yang seharusnya digunakan Pak Deputi terdapat beberapa kesalahan data. Dan itu membuat Pak Deputi marah dan melimpahkannya ke Bu Tiara.

    Duuh…. Tambah badmood aja nih aku. Bu Tiara sebenarnya atasan yang baik, tapi kalau ngomel benar-benar mengerikan. Kata-katanya kadang bikin sakit hati, seperti sekarang dia mengeluarkan kalimat “Gak Kompeten”, “Ceroboh”, “Mengentengkan kerjaan”, dan banyak lagi yang harus kami telan.

    “Baik Bu, kami akan perbaiki dengan teliti.” Mas Ardi menjawab di akhir omelan Bu Tiara. Lalu kami keluar dari ruangannya.

    *

    Aku pulang jam 7.30 malam. Ada beberapa kerjaan yang harus kuselesaikan. Yang paling menyebalkan adalah Mas Ardi menghilang dari sore, dan hanya WA ke aku “Tolong kerjaannya langsung dinaikkan ke Bu Tiara aja ya Lit, saya ada urusan.”

    Terpaksa aku harus berhubungan dengan Bu Tiara padahal aku masih bete banget dengan omelannya. Setelah semuanya beres dan Bu Tiara membolehkan aku pulang, aku berjalan lesu ke arah parkiran. Rasanya aku capek banget dan aku merasa kosong. Aku juga merasa sangaaaat sendirian. Kok aku melow banget sih…

    Aku mengendarai mobilku pulang. Tapi ada yang aneh dengan mobilku. Tarikan gasnya gak stabil dan agak endut-endutan… Aku khawatir dan menepi. Kucoba lagi jalankan dengan pelan… namun tak beberapa lama justru mesinnya mati… aagghh… kenapa ini? Belum pernah mobilku mogok. Hari ini benar-benar hari yang buruk bagiku. Kucoba nyalakan mesin lagi, tapi hanya bunyi klek saja yang keluar dan mesin gak menyala.

    Kuperhatikan sekelilingku. Gelap semua. Aku sudah bukan di jalan raya utama. Gak gitu banyak kendaraan yang lewat. Trus aku harus gimana dong? Panggil teknisi bengkel atau mobil derek ya? Huuuh… Haruskah aku buka kap mobilku dulu untuk lihat ada asap gak di mesinnya?

    Ketika aku mau membuka pintu mobil, “Tek..tek…” Bunyi air hujan membentur body mobilku. Dan hujun turun dengan deras. Aku tertegun. Kok aku pengen nangis ya… Aku terjebak di dalam mobilku yang mogok di malam gelap dan di tengah hujan!

    Kuambil hapeku… adakah yang bisa kuhubungi? Lalu aku tambah merasa down, karena sadar tak ada satu pun orang yang bisa kupanggil untuk menjemputku… Kakakku jauh di Semarang, Om dan tanteku ada yang tinggal di Jakarta, tapi gak gitu deket dengan aku, begitu juga dengan sepupu-sepupuku, bahkan kami gak pernah bertukar pesan. Teman-temanku? Ria pasti udah sibuk sama anaknya.

    Air mata tanpa sadar sudah mengalir di pipiku. Aku merasa sedih dan sendirian sekali. Hujan turun makin deras. Kesendirian ini membunuhku… Ya Allah, kasih aku suami dong, biar aku gak sendirian begini… Aku membatin dan air mataku mengalir, terasa hangat di pipiku…

    Apakah aku akan meninggal sendirian juga? Apa aku akan kesepian sampai sisa hidupku? Berbagai pertanyaan menyedihkan menghantuiku. Kalau aku meninggal di sini, apakah aku bakal segera ditemukan? Pikiranku makin ngelantur dan justru menambah kekalutan. Trus apa malam ini aku menginap di mobil saja? Tapi kalau ada orang jahat gimana? Aku mengambil hape ku dan mencari nomor bengkel langganan. “Tuuut…tuuut” Tidak ada yang menjawab, ya jelaslah karena bengkel kan sudah tutup… Duuh… Apa harus telepon asuransi ya? Aghhh… berkas asuransiku dimana? Kayanya ada di apartemen. Air mata aku menetes lagi. Aku menelungkupkan wajahku ke stir. Aku mencoba menjernihkan pikiran.

    Tiba-tiba ada yang mengetok jendela mobilku. Aku kaget dan takut. Kulirik keluar tidak terlihat apa-apa karena gelap. Tapi terdengar samar-samar suara yang kukenal, kubuka kaca mobil sedikit sekali sekitar satu jari saja (aku gak mau ditodong pisau dari luar kan).

    “Lita, ini saya.” Aku memincingkan mata. Suara yang kayanya akrab di telingaku. Dan kemudian seraut wajah yang kukenal terlihat. Mas Ardi menunduk sehingga wajahnya tepat di depan kaca yang terbuka sedikit. Ya ampuun lega banget aku melihat wajahnya…

    Tapi justru aku malah menangis sesenggukan. Mas Ardi bingung. Dia masih berdiri di luar dengan payung, sementara aku menangis kejer di dalam mobil.

    “Kamu kenapa? Sakit?” Mas Ardi menatapku khawatir.

    “Mobil saya mogok…” Akhirnya aku bisa bicara agak jelas.

    *

    Aku sudah agak tenang. Sekarang aku duduk di mobil Mas Ardi sementara dia sibuk menghubungi jasa derek mobil.

    “Kayanya gak bisa diderek sekarang Lit, hujannya rata. Besok baru datang. Tapi tadi saya sudah kasih alamat disini. Sudah di kunci kan mobilnya?” Aku hanya mengangguk.

    “Barang-barang kamu sudah diambil?” Aku hanya mengangguk lagi.

    “Oke, saya antar kamu pulang.”

    Mas Ardi menjalankan mobil menuju ke apartemenku. Aku masih terdiam, kami diliputi kesunyian.

    Kami sudah diparkiran mobil di gedung apartemenku. “Makasih Mas.” Aku berkata pelan. Aku sadar penampilanku pasti parah banget saat ini. Mata dan hidungku pasti merah efek menangis kejer. Memalukan sekali. Padahal sudah lama banget aku gak nangis kaya gitu. Tapi kenapa harus terulang di depan Mas Ardi ya. Kayanya emosi-emosi terpendamku keluar semua. Rasa sendiri dan menyedihkan seperti bercampur aduk dengan kelegaan melihat Mas Ardi ada disana menolong aku.

    “Kamu gak apa-apa?” Mas Ardi menatapku.

    Aku tersenyum, “Hehe gak apa-apa Mas… Kok bisa liat mobil saya Mas?”

    “Iya, tadi saya pas lewat, trus kaya liat mobil mencurigakan berhenti. Kok kaya mobil kamu, apalagi saya liat baret yang kamu bilang tadi pagi ketabrak motor… hehe” Dia mencairkan suasana. “Boleh tanya kenapa kamu nangis? Kan cuma mogok mobilnya.”

    “Emosi memuncak aja Mas, soalnya seharian bener-bener gak enak hati…”

    “Termasuk diomelin Bu Tiara?”

    “Iya.. Mana Mas Ardi malah pergi lagi…”

    “Saya tadi dampingi Pak Deputi ketemu Menteri. Maaf ya jadi kamu yang harus ngerjain kerjaan sendiri sampai malam sama Bu Tiara.”

    “Udah makan kamu?” Dia bertanya lagi. Kok ya suaranya seperti lembut banget di telingaku ya.

    “Belum.” Aku teringat memang belum makan. Bahkan aku kayanya cuma makan pas pagi doang sedikit. Siapa sih yang nafsu makan setelah di omelin Bu Bos.

    “Mau pesen makanan online dulu?” Mas Ardi menawarkan sambil mengangkat hapenya.

  • Wrong dip

    Wrong dip

    Bardhono (bukan nama sebenarnya) adalah seorang pemuda yang dalam waktu dekat akan menghabiskan masa lajang-nya dengan mengawini gadis sedesanya didaerah Kretek, mBantul …..
    Sebagai pemuda yang masih kencur dalam hal “The Art of Sex” dan “How to
    Satisfy Your Wild Desire”, maka ia ingin dapat ilmu dari orang-2 yang dianggap layak ngandani paring pitutur ………
    Bak Joko Tingkir, pergilah dia ke Imogiri, naik getek menyusuri kali Opakkerumah Pak-De-nya … Lurah Imogori.
    Yo ngerti dewe, kalau Lurah mesti pengalaman dan memiliki jam terbang yang jauh lebih tinggi ….
    Setelah acara basa-basi Jowo selesai, maka beginilah kira-2 advis Pak-De-nya.
    “Wis to le … mumpung waktunya masih 2 bulan lagi, ada baiknya “barang”mu kamu gedein dulu … Carane di celup nganggo teh “Wayu” …
    (teh wayu adalah teh yang sudah sedikitnya semalam berada dalam teko/poci dan berkasiat untuk membesarkan “apa saja” yang direndam disitu).
    Nggih sendiko Pak-De …, jawab pemuda Bardhono.
    Bener …. selama 2 bulan menjelang perkawinan, pemuda Bardhono rajin nyelup teh “Wayu” …
    Mbasan tibo titi wancine …. pas malam pertama …..Ndeso Kretek geger … Mantene wedog bengok-2 karo nangis …. padahal wis jam 2.00 bengi …
    Pak De nya yang ikut nginep disitu, ikut kaget karo mesem-2 …wah anjuranku pasti siiip iki …
    Critane manten wedok komplain … barange mas Bardhono keciliken jarene …sak bithing tok … karo mbrebes mili …
    Pak De kaget luaaaar biasa … lho kok bisa kebalikannya …
    Bertanggung jawab … advisnya kok bisa dadi cikal bakal keributan …
    Usut punya usut … kesalahan bukan pada advis Pak De, tapi pemuda Bardhono sing keliru nyelup pakai … Slimming Tea nya, Mustika Ratu.

  • Nuns and thugs

    Nuns and thugs

    Ada seorang BIARAWATI (SUSTER) cantik dan seorang PREMAN yang lumayan ganteng naik bis kota bersama-sama. Preman itu sangat bernafsu melihat suster tersebut.
    Akhirnya ia tidak tahan dan bertanya: “MAUKAH SUSTER BERCINTA DENGAN SAYA ?”
    Suster itu menjawab: “Tidak mungkin, kan saya seorang suster, kekasih Tuhan”. Akhirnya suster itu turun dari bis…. Preman yang sadar dirinya ganteng dan jantan, merasa kecewa!.

    Sopir bis yang bernama MULYADHIE menguping pembicaraan itu. Mulyadhie melirik pada Preman yang memang ganteng itu lalu berkata pada Preman itu:
    “Kamu mau bercinta dengan suster itu? Bayar aku Rp 100.000,- , nanti saya kasih tahu rahasianya.”

    Preman itu membayarnya, dan Mulyadhie memberikan nasehatnya :
    “Suster itu memiliki kebiasaan berdoa setiap Selasa malam di tempat suci di belakang gereja. Kamu harus berpakaian putih dan berkilau-kilau lalu berbuat seolah-olah kamu itu “Tuhan”, dan memintanya untuk bersetubuh dengan kamu.” Preman itu setuju dan menunggu hingga Selasa malam.

    Memang benar suster itu datang berdoa dengan khusuk. Sehabis doa, Preman itu muncul dan berkata, “Aku akan kabulkan seluruh permintaan kamu, asalkan kamu mau bersetubuh dengan aku ?”
    Suster itu menjawab, “Karena aku kekasih Tuhan, jadi aku bersedia. Tetapi agar aku tetap perawan, sebaiknya dilakukan secara ANAL-SEX” (SUSTER atau BIARAWATI memang harus perawan sepanjang hidupnya, bok !!!).

    Preman itu setuju lalu TERJADILAH PERSETUBUHAN itu….. Dan Preman ganteng itu membuktikan keperkasaan dirinya sebagai laki-laki yang jantan.
    Selesai semuanya itu, PREMAN ITU BERTERIAK….:
    “Wua ha..ha..ha..ha… guwe bukan TUHAN tau….guwe PREMAN”

    SUSTER ITU JUGA BERTERIAK…:
    “Ha..ha..ha..ha..ha.., guwe juga bukan SUSTER tau……” “Guwe adalah MULYADHIE SOPIR BIS”

    Bwakakakakakakakakaka

  • One Afternoon, When I Came Home

    One Afternoon, When I Came Home



    Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

    Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

    Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

    Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

    “Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

    “Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

    Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

    “Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

    “Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

    Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

    Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

    Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

    Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

    “Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

    Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

    Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

    Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

    “Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

    Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

    Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

    “Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

    Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

    Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

    “Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

    “Nanti aja pa,” balasku datar.

    “Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

    “Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

    “Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

    “Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

    Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

    Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

    Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

    Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

    Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

    “Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

    Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

    “Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

    Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

    “Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

    Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

    Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

    “Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

    Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

    “I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

    “I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.”

    Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

    Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

    Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

    Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

    “Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

    Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

    Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

    Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

    Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

    “Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

    Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

    Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

    “Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

    Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

    “Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

    Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

    “Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

    Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

    Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

    Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

    Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

    “Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

    Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

    Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

    “Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

  • Hello world!

    Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!